08 November 2008

Pemuda, Pemecah Kesunyian Sejarah

Momentum peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda saat ini sudah seharusnya dimanfaatkan sebagai ajang introspeksi peran pemuda dalam perjuangan pada bentuk yang berbeda.

Introspeksi tersebut menjadi relevan karena saat ini kaum muda tampaknya kembali menuntut perannya dalam berbangsa. Tahun lalu misalnya, saat memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-79, muncul jargon-jargon yang dikumandangkan sekelompok kaum muda: "Saatnya kaum muda memimpin" dan "jalan baru, pemimpin baru". Oleh sejumlah kalangan, jargon-jargon tersebut diindikasikan sebagai sebuah momentum kesadaran akan perlunya kebangkitan pemuda Indonesia.

Setidaknya, inilah saat yang tepat untuk mempertanyakan kembali kiprah tokoh-tokoh muda di Tanah Air. Munculnya jargon-jargon semacam itu, menurut Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menegpora) Adhyaksa Dault, tidak bisa serta-merta disimpulkan sebagai sebuah bentuk kekecewaan kaum muda kepada generasi tua yang dianggap gagal membawa bangsa ini pada perbaikan.

"Harus menggunakan perspektif yang lebih luas untuk melihat jargon-jargon itu ketimbang memaknainya sebagai bentuk nafsu kuasa," ujar Adhyaksa. Mantan Ketua Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI, periode 1999-2002) itu menilai jargon-jargon tersebut merupakan bentuk kesadaran kaum muda untuk aktif dan peduli politik.

Lantas, bagaimana sejatinya peran pemuda saat ini? Berikut ini petikan wawancara dengan Menegpora yang ditemui di kantornya pekan lalu.

Sejak era sebelum kemerdekaan hingga awal Reformasi, kaum muda selalu berperan penting dalam proses perubahan di negeri ini. Mungkinkah momentum itu terjadi kembali?

Itu sesuatu yang sangat mungkin, sebab hal itu adalah keniscayaan sejarah. Konstelasi politik yang terbentuk di hampir setiap negara sampai detik ini masih menempatkan pemuda dalam posisi terdepan yang bisa diharapkan untuk memecahkan kebekuan. Tetapi, kemampuan tersebut tentu saja bukan monopoli kaum muda.

Meski begitu sejarah membuktikan, pemuda selalu punya peran penting dalam perubahan. Karena, pemuda punya jarak yang sedemikian rupa untuk memisahkan dirinya dengan konstelasi dan praktik kekuasaan. Saya tidak mengatakan pemuda itu independen. Tetapi, dibandingkan generasi tua, peluang kaum muda untuk memecah kebekuan jauh lebih besar.

Lantas, apa tantangan pemuda saat ini?

Memang masih ada keprihatinan terhadap pemuda saat ini seperti dalam kemampuan menjaga emosi. Banyak yang mudah marah. Buktinya, banyak tawuran yang hanya disebabkan hal-hal sepele. Banyak juga pemuda yang tidak mudah untuk mengendalikan kesenangan yang didapatkannya sehingga sering mengekspresikan dalam hal-hal yang berlebihan. Seperti menonton konser misalnya, banyak tindakan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Masalah-masalah ini harus diperhatikan.

Pada peringatan Sumpah Pemuda tahun lalu sempat muncul jargon "Saatnya Kaum Muda Memimpin" atau "Jalan Baru, Pemimpin Baru" dan seterusnya. Bagaimana Anda melihatnya?

Kalau Anda berpikir itu adalah indikasi munculnya kesadaran politik baru atau semacam enlightment (pencerahan) dari kaum muda di bidang politik, saya menyarankan agar tidak terburu-buru menarik kesimpulan. Saya melihat positif pemuda yang terlibat aktif dalam politik. Seperti pendapat Huygen, mereka adalah generasi yang kreatif dan inovatif. Ini dua pilar keberlanjutan pembangunan. Itu juga dua elemen yang dibutuhkan untuk keberlangsungan demokrasi dan pada gilirannya berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Jadi, ini perspektif untuk melihat jargon-jargon itu ketimbang memaknainya sebagai bentuk nafsu kuasa. Sebagai penumbuh kesadaran untuk aktif dan peduli dengan politik. Peduli dengan apa yang terjadi di parlemen atau pemerintahan. Itulah yang sebenarnya hendak disampaikan. Kalau tidak punya kesadaran untuk peduli, bagaimana bisa memecah kebekuan?

Sejalan dengan itu, apakah sudah kini saatnya melahirkan UU Kepemudaan?

Saya kira UU Kepemudaan itu menjadi kebutuhan. Zaman berubah, karena itu kita butuh infrastruktur sosial politik baru yang lebih memadai. Perlu dipahami, UU ini bukan latah atau untuk gaya-gayaan saja. Sampai saat ini, UU Kepemudaan masih kami rumuskan. Tujuannya sederhana, yakni mendorong sekaligus memastikan agar kaum muda ditempatkan sebagai subjek dalam pembangunan, agar tersedia lebih banyak akses untuk berkiprah dalam pembangunan.

Apakah saat ini kaum muda belum menjadi subjek utama pembangunan?

Di beberapa bidang, arus besar pembangunan kita sudah sedemikian rupa menempatkan pemuda sebagai subjek utama. Anda bisa lihat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pemakaian narkoba dan seterusnya. Tapi dalam hal lain, pembangunan ekonomi misalnya, kaum muda belum begitu berperan.

Dalam politik belum maksimal. Tapi ini juga terkait dengan kapasitas dan pengalaman. Jadi, sifatnya dua arah, tidak bisa berdiri sendiri dan dipaksakan. Yang perlu ditekankan adalah keterlibatan aktif pemuda dalam pembangunan yang akan mendorong tercapainya perbaikan mutu pendidikan, peningkatan kualitas hidup, pelindungan hukum, dan hak asasi manusia yang pada akhirnya berdampak terhadap kelangsungan masa depan Indonesia.

Bagaimana seharusnya kaum muda sekarang merefleksikan gerakan pemuda 1928?

Saya tidak akan menggunakan pendekatan bernada sentimentil dalam persoalan ini. Misalnya bagaimana dulu kakekbuyut kita berjuang melawan penjajah, mengorbankan segalanya, dan seterusnya. Itu harus kita hargai dan jangan pernah dilupakan. Tapi jika kita berhenti di situ, saya khawatir Sumpah Pemuda akan dimaknai sekadar bagian dari romantisme sejarah Indonesia masa lampau, yang hanya mendapat tempat di museum. Apa yang kita dapatkan niscaya akan lebih banyak jika kita berusaha menangkap semangat yang berkembang pada masa itu.

Atmosfer yang hidup di tengah mereka dan menjadikannya sebagai inspirasi untuk melakukan sesuatu pada hari ini. Sumpah Pemuda yang kita peringati setiap 28 Oktober mengingatkan kita atas pentingnya dua hal: menangkap semangatnya dan menjadikannya inspirasi untuk melakukan sesuatu pada hari ini. Benar bahwa masa mereka hidup adalah masa ketika ideologi-ideologi besar tengah bergemuruh.

Kapitalisme, sosialisme, itu terus-menerus berdialog silih berganti di kepala mereka. Tapi, saya kira, mereka adalah orang-orang yang memilih untuk kehilangan kemudaannya. Kaum muda sekarang berada dalam kondisi "kritis". Maksud saya, kalau kita lihat, etos dan semangat kaum muda setelah masa Reformasi agak sedikit mengendur. Dalam arti tidak sekuat sebelumnya.

Bisa dijelaskan makna dan filosofi Menara Pemuda yang akan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Oktober 2008?

Bangunan itu didirikan dengan menggunakan tanah dan air dari 33 provinsi di Indonesia yang dibawa oleh semua pemuda dari seluruh negeri. Ini mempunyai makna filosofis bahwa bangunan itu tidak sekadar patung, tetapi sarat makna sebagai perekat bangsa dan semangat generasi muda untuk bersatu membangun dan mempertahankan negeri ini. Hal itu tidak boleh sebatas ngomong, tetapi harus diterjemahkan dalam program jelas yang akan membawa kita pada cita-cita suci tersebut.

Menara itu merefleksikan semangat pemuda, terutama dalam menjaga keutuhan negara-bangsa Indonesia. Itu yang utama. Semangat nasionalisme, persatuan dan kesatuan harus terus dipupuk ke anak cucu, terutama bagi generasi muda. Ada rangkaian acara yang melengkapi peresmian menara itu seperti pemberian penghargaan kepada pemuda pelopor tingkat nasional di lima bidang, yaitu kewirausahaan, pendidikan, teknologi tepat guna, budaya dan pariwisata, serta kebaharian.

Lalu juga Jambore Pemuda Indonesia yang akan mengundang 1.200 pemuda dari seluruh provinsi di Indonesia di Cibubur, kemudian bakti pemuda ke daerah-daerah, antarprovinsi.

Dengan demikian para pemuda itu akan berbaur bersama tanpa sekat apa pun?

Saya berharap apa yang kamilakukan itu, meski tidak bisa dibayangkan sebagai suatu gerakan yang besar, bisa menjadi pengingat bagi kaum muda untuk terus memperbaiki diri dan berkaca demi kemajuan, persatuan, dan kesatuan bangsa kita.� (sindo//mbs)

sumber: okezone.com